Doha, 23 Oktober 2025 — Kesadaran akan pentingnya deteksi dini kanker payudara kembali digaungkan dalam Panel Discussion on Breast Cancer Awareness bertema “Research, Treatment, and Survivorship”, yang digelar di Multipurpose Hall, Researchery, Education City.
Acara ini merupakan kolaborasi antara Qatar Biomedical Research Institute (QBRI), Hamad Bin Khalifa University, dan Qatar Cancer Society, menghadirkan para ahli medis, peneliti, hingga penyintas kanker.
Hadir pula perwakilan dari Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT) Qatar, yakni dr. Ken Lestariyani Sulis dan dr. Amal Hayati, SpPA, yang turut berpartisipasi dalam diskusi lintas disiplin ini.
Panel menampilkan sejumlah narasumber terkemuka, di antaranya Dr. Vladimir Katanaev (Scientific Director, QBRI-HBKU), Dr. Salha Bujassoum Al Bader (Senior Consultant, National Center for Cancer Care and Research/NCCCR), Dr. Mohammed Eltagalawi (Development Researcher, Qatar Cancer Society), serta Raghida Sobh, penyintas kanker payudara sekaligus edukator.
Dalam diskusi, Dr. Katanaev menyoroti pesatnya perkembangan riset dan terapi kanker di Qatar. “Kemajuan teknologi biomedis membuka peluang besar untuk terapi yang lebih efektif dan personal. Kini fokus kita tidak hanya pada penyembuhan, tetapi juga pada kualitas hidup penyintas,” ujarnya.
Namun, di tengah kemajuan tersebut, tingkat partisipasi masyarakat dalam skrining kanker payudara masih rendah. Berdasarkan data dari Primary Health Care Corporation (PHCC), hanya sekitar 50 persen wanita di Qatar yang memanfaatkan layanan skrining gratis yang telah disediakan oleh pemerintah melalui program Screen for Life.
“Fasilitasnya sudah ada, dan bahkan tanpa biaya. Tapi masih banyak perempuan yang enggan melakukan pemeriksaan karena khawatir terhadap hasil tes, stigma sosial, atau mitos yang berkembang di masyarakat,” ungkap Dr. Salha Al Bader.
Tingkat Kelangsungan Hidup Meningkat TajamMeski demikian, kabar baik datang dari laporan terbaru yang menunjukkan bahwa 75 hingga 80 persen penyintas kanker payudara di Qatar mampu bertahan hidup hingga 10 tahun setelah diagnosis. Angka ini mencerminkan kemajuan signifikan dalam deteksi dini dan efektivitas pengobatan yang terus berkembang di pusat-pusat medis nasional.
Dr. Mohammed Eltagalawi menegaskan bahwa edukasi publik menjadi kunci untuk menekan angka keterlambatan diagnosis. “Setiap perempuan harus tahu bahwa semakin cepat kita mendeteksi, semakin besar peluang untuk sembuh,” katanya.
Pesan Haru dari PenyintasSesi diskusi diakhiri dengan kisah inspiratif dari Raghida Sobh, penyintas sekaligus edukator kanker payudara. ia menyampaikan pesan mendalam: “Jadikan skrining sebagai bentuk cinta — cinta pada diri sendiri, dan cinta pada keluarga yang ingin kita temani lebih lama.”Pesan ini menjadi penutup yang menggugah, menegaskan bahwa kesadaran bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga bentuk kasih dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang kita sayangi.



