Iqbal Mochtar
Bayangkan ini: seorang dokter sementara berjuang menyelamatkan nyawa pasien. Tiba-tiba, keluarga pasien yang tak sabar meluapkan emosi. Dengan arogan, ia melontarkan kata-kata kasar, tangan terayun, memaksa dokter melepaskan masker dan mengguncang dokter yang menolong keluarganya. Situasi berubah tegang, pelayanan terganggu. Pada kasus lain, dokter dikejar, diancam, ditempeleng, ditendang, dilukai secara fisik dan bahkan dibunuh.
Ini bukan drama atau fiksi. Ini nyata dinegeri ini. Sangat marak terjadi dokter dan tenaga kesehatan diperlakukan sangat tidak manusiawi. Mungkin karena menganggap sudah membayar, maka mereka bebas melakukan apa saja. Mungkin juga merasa dokter adalah profesi sabar dan lemah. Jadi diperlakukan apa saja tidak masalah. Kalau polisi dan tentara lain lagi. Mana berani mereka mengusik polisi dan tentara?
Dokter adalah profesi yang lahir lahir dari pendidikan lama dan sumpah profesi. Begitu ia bekerja di rumah sakit pemerintah atau puskesmas, ia otomatis menjadi bagian dari pelayanan publik negara. Setiap kali seorang dokter berdiri di balik meja praktik atau berlari di lorong rumah sakit, ia bukan hanya menjalankan pekerjaannya sebagai profesi. Ia sedang menjalankan tugas negara — melindungi hak warga atas kesehatan, yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan di rumah sakit swasta dan praktik pribadi, pelayanan kesehatan tetap tunduk pada regulasi dan standar mutu negara, sehingga peran dokter di sana pun bersifat publik.
Artinya, ketika dokter direndahkan atau disakiti saat bertugas, itu bukan hanya masalah antara individu dan pelaku. Itu adalah serangan terhadap fungsi negara. Analogi mudahnya: seperti menampar polisi saat ia mengatur lalu lintas, atau memukul jaksa di tengah sidang.
Dokter dan tenaga kesehatan memang kerap jadi bulan-bulanan. Data WHO mengejutkan : 8–38 persen tenaga kesehatan pernah mengalami kekerasan fisik dalam pekerjaannya. Angka kekerasan verbal lebih tinggi lagi. Dampaknya serius: gangguan mental, trauma, burnout, bahkan kesalahan medis yang berisiko pada nyawa pasien. Di wilayah konflik, risikonya melonjak tajam. Laporan Safeguarding Health in Conflict tahun 2023 mencatat 2.562 insiden kekerasan terhadap tenaga kesehatan di seluruh dunia—angka tertinggi sejak pencatatan dimulai. Bentuknya beragam: penyerangan fisik, penahanan, penembakan, hingga serangan terhadap rumah sakit. Ini serius. Negeri ini memang tidak sedang hidup di daerah perang; tetapi jangan salah: rumah sakit bisa menjadi “medan perang” bagi dokter dan tenaga kesehatan yang dihumiliasi.
Indonesia katanya memiliki Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Di dalamnya ditegaskan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum, keselamatan kerja, dan perlakuan yang bermartabat. Namun tidak jelas seberapa tajam dan seberapa real klausul ini dipraktikkan. Yang sedikit jelas hanya menyebutkan bahwa undang-undang ini memberi hak untuk menghentikan pelayanan jika terjadi kekerasan atau perundungan terhadap tenaga kesehatan. Itu saja. Sangat cemen.
Terus terang saja, pemerintah tidak pernah serius memperhatikan keselamatan tenaga pasien. Mereka selalu memaksa mereka, namun tidak pernah memberi perlindungan nyata. Undang-undang hanya phletora; tidak serius dan tidak punya taring. Hanya sekedar omon-omon. Tidak ada sanksi pidana khusus yang tegas, apalagi pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan terhadap tenaga medis saat bertugas.
Penghormatan dan penghargaan terhadap dokter dan tenaga kesehatan dinegeri ini memang nyaris tidak ada. Jauh beda dengan negara-negara lain didunia. Negara-negara lain sudah melangkah lebih jauh dalam penghargaan terhadap tenaga kesehatan. Inggris punya Assaults on Emergency Workers Act yang memberi hukuman hingga dua tahun penjara bagi siapa pun yang menyerang petugas darurat, termasuk tenaga kesehatan. Singapura punya Protection from Harassment Act yang memperberat hukuman jika korban adalah petugas publik—dengan denda besar dan penjara. Victoria, Australia, bahkan punya hukuman minimum wajib bagi pelaku kekerasan yang melukai petugas layanan darurat. Di India, memaki dokter dan tenaga kesehatan diancam penjara 2 tahun dan mengancam mereka terkena ancaman penjara 3-7 tahun.
Mengapa mereka keras dalam melindungi tenaga kesehatan? Karena mereka adalah negara beradab atau civilised. Mereka sadar, gangguan pada tenaga medis bukan hanya masalah pribadi, tapi masalah publik. Layanan kesehatan adalah urat nadi negara, dan melukai tenaga kesehatan sama saja dengan memutus aliran darah itu.
Sudah sangat perlu undang-undang perlindungan tenaga kesehatan. Dalam aturan ini, perlindungan dokter dan tenaga kesehatan bisa diperkuat dengan beberapa langkah-langkah nyata.
Pertama, harus ada aturan pidana khusus bagi pihak yang melakukan kekerasan atau ancaman pada tenaga kesehatan saat mereka bekerja. Mesti dirumuskan pasal yang secara spesifik menyebut “kekerasan terhadap tenaga kesehatan saat bertugas” sebagai delik khusus, dengan hukuman yang lebih berat dari kekerasan biasa.
Kedua, protokol keamanan di fasilitas kesehatan mesti ada. Standar keamanan harus jelas: dari petugas keamanan yang terlatih, tombol darurat (panic button), hingga prosedur menghentikan pelayanan jika situasi membahayakan.
Ketiga, setiap fasilitas pelayanan kesehatan mesti memasang papan peringatan yang tegas. Di setiap ruang tunggu, mesti ada pasang pengumuman: “Menghina, mengancam, atau menyerang tenaga kesehatan adalah tindak pidana. Pelaku akan diproses hukum.”
Keempat, mesti ada sistem pelaporan yang cepat. Bagi dokter atau tenaga kesehatan yang diancam atau dihumiliasi, jangan segan-segan melapor ke aparat kepolisian, lengkap dengan pendampingan hukum bagi korban. Jangan karena profesi ini dianggap mulia dan altruisme, kita membiarkan orang menginjak hak azasi dan kehormatan profesi. Laporan ke polisi mesti ditanggapi serius. Jangan ujung-ujungnya diselesaikan dengan damai. Mesti ada learning process bahwa mengancam dan mencederai dokter adalah delik pidana dan harus diselesaikan secara hukum.
Kita tidak mungkin berharap pelayanan kesehatan berjalan mulus jika orang yang menjalankannya bekerja dalam ketakutan. Dokter bukan robot yang kebal dari rasa sakit atau trauma. Mereka manusia yang bekerja di garis terdepan untuk memastikan kita sehat, sembuh, bahkan selamat dari maut. Melindungi mereka berarti melindungi diri kita sendiri. Dan ketika kita gagal memberi perlindungan, kita bukan hanya membiarkan dokter disakiti — kita sedang membiarkan negara direndahkan.
*
